Banyak
model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum. Pemilihan suatu model
pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas kelebihan dan
kebaikan-kebaikannya serta kemungkinan pencapaian hasil yang optimal, tetapi
juga periu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem pengelolaan
pendidikan yang dianut serta model konsep pendidikan mana yang digunakan. Model
pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan dan pengelolaan yang sifatnya
sentralisasi berbeda dengan yang desentralisasi. Model pengembangan dalam
kurikulum yang sifatnya subjek akademis berbeda dengan kurikulum humanistik,
teknologis dan rekonstruksi sosial.
Sekurang-kurangnya
dikenal delapan model pengembangan kurikulum, yaitu: the administrative
(line staff) model, the
grass roots model, Beauchamps system,
the demonstration model, Taba's inverted model, Roger's interpersonal
relations model, the
systematic action research model dan emerging technical model.
Model
pengembangan kurikulum ini merupakan model paling lama dan paling banyak
dikenal. Diberi nama model administratif atau line
staff karena inisiatif dan gagasan pegembangan datang dari para administrator
pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Dengan wewenang
administrasinya, administrator pendidikan (apakah dirjen, direktur atau kepala
kantor wilayah pendidikan dan kebudayaan) membentuk suatu komisi atau tim
pengarah pengembangan kurikulum. Anggota-anggota komisi atau tim ini terdiri
atas, pejabat di bawahnya, para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli
disiplin ilmu, dan para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan. Tugas tim atau
komisi ini adalah merumuskan konsep-konsep
dasar,
landasan-Iandasan, kebijaksanaan, dan strategi utama dalam pengembangan
kurikulum. Setelah hal-hal yang mendasar ini terumuskan dan mendapatkan
pengkajian yang saksama, administrator pendidikan menyusun tim atau komisi
kerja pengembangan kurikulum. Para anggota tim atau komisi ini terdiri atas
para ahli pendidikan/kurikulum, ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi,
guru-guru bidang studi yang senior. Tim kerja pengembangan kurikulum
bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih operasional, dijabarkan
dari konsep-konsep dan kebijaksanaan dasar yang telah digariskan oleh tim
pengarah. Tugas tim kerja ini merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional
dari tujuan- tujuan yang lebih umum, memilih dan menyusun sekuens bahan
pelajaran, memilih strategi pengajaran dan evaluasi, serta menyusun pedoman-
pedoman pelaksanaan kurikulum tersebut bagi guru-guru.
Setelah
semua tugas dari tim kerja pengembang kurikulum tersebut selesai, hasilnya
dikaji ulang oleh tim pengarah serta para ahli lain yang berwenang atau pejabat
yang kompeten. Setelah mendapatkan beberapa penyempumaan, dan dinilai telah
cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum
tersebut serta memerintahkan sekolah- sekolah untuk melaksanakan kurikulum
tersebut. Karena sifatnya yang datang dari atas, model pengembangan kurikulum
demikian disebut juga model "top
down" atau "line
staff'. Pengembangan kurikulum dari atas, tidak selalu segera
berjalan, sebab menuntut kesiapan dari pelaksanaannya, terutama guru-guru.
Mereka perlu mendapatkan petunjuk-petunjuk dan penjelasan atau mungkin juga
peningkatan pengetahuan dan keterampilan Kebutuhan akan adanya penataran sering
tidak dapat dihindarkan.
Dalam pelaksanaan
kurikulum tersebut, selama tahun-tahun per-mulaan diperlukan pula adanya
kegiatan monitoring, pengamatan dan pengawasan serta bimbingan dalam
pelaksanaannya. Setelah berjalan beberapa saat perlu juga dilakukan suatu
evaluasi, untuk menilai baik validitas komponen-komponennya, prosedur
pelaksanaan maupun keberhasilannya. Penilaian menyeluruh dapat dilakukan oleh
tim khusus dari tingkat pusat atau daerah, sedang penilaian persekolah dapat
dilakukan oleh tim khusus sekolah yang bersangkutan. Hasil penilaian tersebut
merupakan umpan balik, baik bagi instansi pendidikan di tingkat pusat, daerah,
maupun sekolah.
Model pengembangan
ini merupakan lawan dari model pertama. lnisiatif dan upaya pengembangan
kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau
sekolah. Model pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan dalam sistem
pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi, sedangkan model grass roots akan
berkembang dalam
Sistem pendidikan yang bersifat
desentralisasi. Dalam model pengembangan bersifet
grass roots seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru
di suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum. pengembangan atau
penyempumaan ini dapat berkenaan dengan suatu l^ponen kurikulum, satu atau
beberapa bidang studi ataupun seluruh hidang studi dan seluruh komponen
kurikulum. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan
guru-guru, fasilitas, biaya maupun bahan-bahan
kepustakaan, pengembangan kurikulum model grass
roots, akan lebih baik. Hal itu didasarkan atas pertimbangan
bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempuma dari pengajaran di
keiasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan keiasnya, oleh karena itu dialah
yang paling kompeten menyusun kurikulum bagi keiasnya. Hal itu sesuai dengan
prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dikemukakan oleh Smith, Stanley dan
Shores (1957:429);
1
The curriculum
will improve only as the professional competence of teachers improves.
2
The competence
of teachers will be improved only as the teachers become involved personally
in the problems of curriculum revision.
3.
If
teachers share in shaping the goals to be attained, in selecting, defining,
and solving the problems to be encountered, and in judging and evaluating the
rusults, their involvement will be most nearly assured.
4.
As
people meet in face-to-face groups, they will be able to understand one another
better and to reach a consensus on basic principles, goals, and plans (Smith,
Stanley, and Shores (1957:429).
Pengembangan kurikulum yang
bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau
sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk bidang studi
sejenis pada sekolah lain, atau keseluruhan bidang studi pada sekolah atau
dacrah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi dengan model
grass rootsnya, Memungkinkan terjadinya kompetisi di dalam meningkatkan mutu
dan $istem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-
Manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
3.
Beauchamp's system
Model pengembangan
kurikulum ini, dikembangkan oleh Beauchamp seorang ahli
kurikulum. Beauchamp mengemukakan lima hal di dalam pengembangan suatu kurikulum.
Pertama,
nienetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup
oleh kurikulum tersebut, apakah
suatu sekolah, kecamatan, kabupaten, propinsi ataupun seluruh negara. Pentahapan arena
ini ditentukan oleh wewenang yang dimiliki oleh pengambil kebijaksanaan dalam
pengembangan kurikuluni. serta oleh tujuan pengembangan kurikulum. Walaupun
daerah yang menjadi wewenang kepala kanwil pendidikan dan kebudayaan mencakup
suatu wiiayah propinsi, tetapi arena pengembangan kurikulum hanya mencakup satu
daerah kabupaten saja sebagai pilot proyek.
Kedua, menetapkan personalia,
yaitu siapa-siapa yang turut serta terlibat dalam pengembangan kurikulum. Ada
empat kategori orang yang turut berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum,
yaitu: (I) para ahli pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat pengembangan
kurikulum dan para ahli bidang ilmu dari luar, (2) para ahli pendidikan dari
perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru terpilih, (3) para profesional
dalam sistem pendidikan, (4) profesional lain dan tokoh-tokoh masyarakat.
Beauchamp mencoba
melibatkan para ahli dan tokoh-tokoh pendidikan seluas mungkin, yang biasanya
pengaruh mereka kurang langsung terhadap pegembangan kurikulum, dibanding
dengan tokoh- tokoh lain seperti, para penulis dan penerbit buku, para pejabat
pemerintah, politikus, dan pengusaha serta industriawan. Penetapan personalia
ini sudah tentu disesuaikan dengan tingkat dan luas wiiayah arena. Untuk
tingkat propinsi atau nasional tidak terlalu banyak melibatkan guru. Sebaliknya
untuk tingkat kabupaten, kecamatan atau sekolah keterlibatan guru-guru semakin
besar. Mengenai keterlibatan kelompok-kelompok personalia ini, Beauchamp
mengemukakan tiga pertanyaan: (1) Haruskah kelompok ahli/pejabat/profesi
tersebut dilibatkan dalam pengembangan kurikulum?, (2) Bila ya, apakah peranan
mereka?, (3) Apakah mungkin ditemukan alat dan cara yang paling efektif untuk
melaksanakan peran tersebut?
Ketiga, organisasi dan prosedur
pengembangan kurikulum. Langkah ini berkenaan dengan prosedur
yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan yang lebih khusus,
memilih isi dan pengalaman belajar, serta kegiatan evaluasi, dan dalam
menentukan keseluruhan desain kurikulum. Beauchamp membagi keseluruhan kegiatan
ini dalam lima langkah, yaitu; (1) Membentuk tim pengembang kurikulum, (2)
menga- dakan penilaian atau penelitian terhadap kurikulum yang ada yang sedang
digunakan, (3) Studi penjajagan tentang kemungkinan penyusunan kurikulum baru,
(4) merumuskan kriteria-kriteria bagi penentuan kurikulum baru, (5) penyusunan
dan penulisan kurikulum baru.
Keempat, implementasi kurikulum.
Langkah ini merupakan langkah mengimplementasikan atau melaksanakan kurikulum
yang bukan sesuatu yang sederhana, sebab membutuhkan kesiapan yang menyeluruh,
baik kesiapan guru-guru, siswa, fasilitas, bahan maupun biaya, di samping
kesiapan manajerial dari pimpinan sekolah atau administrator setempat.
Langkah yang kelima dan merupakan terakhir
adalah evaluasi
kurikulum. Langkah ini minimal mencakup empat hal, yaitu: (1) evaluasi
tentang pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru, (2) evaluasi desain
kurikulum, (3) evaluasi hasil belajar siswa, (4) evaluasi dari keseluruhan
system kurikulum. Data yang diperoleh dari hasil kegiatan evaluasi ini
digunakan bagi penyempurnaan system dan desain kurikulum, serta prinsip-prinsip
melaksanakannya.
Model demonstrasi
pada dasamya bersifat grass
roots, datang dari bawah. Model ini diprakarsai oleh sekelompok
guru atau sekelompok guru bekerja sama dengan ahli yang bermaksud mengadakan
perbaikan kurikulum.Model ini umumnya berskala kecil, hanya mencakup suatu atau
beberapa sekolah,
suatu
komponen kurikulum atau mencakup keseluruhan komponen kurikulum. Karena
sifatnya ingin mengubah atau mengganti kurikulum yang ada, pengembangan
kurikulum sering mendapat tantangan dari pihak-pihak tertentu.
Menurut
Smith, Stanley, dan Shores ada dua variasi mcxiel demonstrasi mi. Pertama,
sekelompok guru dari satu sekolah atau beberapa sekolah ditunjuk untuk
melaksanakan suatu percobaan tentang pengembangan kunkulum. Proyek ini
bertujuan mengadakan penelitian dan pengem- hangan tentang salah satu atau
beberapa segi/komponen kurikulum. Hasil penelitian dan pegembangan ini
diharapkan dapat digunakan bagi Imgkungan yang lebih luas. Kegiatan penelitian
dan pengembangan ini biasanya diprakarsai dan diorganisasi oleh instansi pendidikan
yang berwewenang seperti, direktorat pendidikan, pusat pengembangan kurikulum,
kantor wilayah pendidikan dan kebudayaan, dan sebagainya.
Bentuk yang kedua,
kurang bersifat formal. Beberapa orang guru yang erasa kurang puas dengan
kurikulum yang ada, mencoba mengadakan Penelitian dan pengembangan sendiri. Mereka
mencoba menggunakan hal lain yang berbeda dengan yang berlaku. Dengan kegiatan
ini mereka mrngharapkan ditemukan kurikulum atau aspek tertentu dari kurikulum
yang lebih baik, untuk kemudian digunakan di daerah yang lebih luas.
Ada beberapa
kebaikan dari pengembangan kurikulum dengan model demonstrasi ini. Pertama,
karena kurikulum disusun dan dilaksanakan dalam situasi tertentu yang nyata,
maka akan dihasilkan suatu kurikulum aspek tertentu
dari kurikulum yang lebih praktis. Kedua, perubahan penyempurnaan kurikulum
dalam skala kecil atau aspek tertentu yang
khusus, sedikit sekali untuk ditolak oleh administrator,
dibandingkan perubahan dan penyempurnaan
yang menyeluruh. Ketiga, ^gembangan
kurikulum dalam skala kecil dengan model demonstrasi menembus hambatan yang
sering dialami yaitu dokumentasinya ^tetetapi pelaksanaannya
tidak ada. Keempat, model ini sifatnya yang menempatkan guru sebagai
pengambil inisiatif dan nara sumber yang
da pat menjadi pendorong bagi para administrator untuk mengembangkan program
baru. Kelemahan model ini, adalah bagi guru-guru yang tidak turut
berpartisipasi mereka akan menerimanya enggan-enggan, dalam keadaan terburuk
mungkin akan terjadi apatisme
5.
Taba's inverted
model
Menurut cara yang
bersifat tradisional pengembangan kurikulum dilakukan secara deduktif, dengan
urutan:
1)
Penentuan prinsip-prinsip dan kebijaksanaan
dasar.
2)
Merumuskan desain kurikulum yang bersifat
menyehiruh didasarlun atas komitmen-komitmen tertentu,
3)
Menyusun unit-unit kurikulum sejalan dengan
desain yang menyehiruh,
4)
Meiaksanakan kurikulum di dalam kelas.
Taba
berpendapat model deduktif ini kurang cocok, sebab tidak merangsang timbulnya
movasi-inovasi. Menurutnya pengembangan kurikulum yang lebih mendorong inovasi
dan kreativitas gum-guru adalah yang bersifat induktif, yang merupakan inversi
atau arah terbalik dan model tradisional.
Ada
lima langkah pengembangan kurikulum model Taba ini. Pertama. mengadakan unit-unit eksperimen
btrsama guru-guru.
Di dalam unit eksperimen ini diadakan studi yang saksama ten tang
hubungan antara teori dengan praktik. Perencanaan didasarkan atas teori yang
kuat dan pelaksanaan eksperimen di dalam kelas menghasilkan data-data yang
untuk menguji landasan teori yang digunakan. Ada delapan langkah dalam kegiatan
unit eksperimen ini;
1)
Mendiagnosis kebutuhan,
2)
Merumuskan tujuan-tujuan khusus,
3)
Memilih isi,
4)
Mengorganisasi isi,
5)
Memilih pengalaman belajar,
6)
Mengorganisasi pengalaman belajar,
7) Mengevaluasi,
8)
Melihat sekuens dan keseimbangan (Taba, 12:
347-379).
Langkah kedua, menguji unit eksperimen. Meskipun unit eksperimen
vn telah diuji dalam pelaksanaan di
kelas eksperimen, tetapi masih hams
diui di kelas-kelas atau tempat
lain untuk megetahui validitas dan keprak
tisannya, serta menghimpun data
bagi penyempumaan.
Langkah ketiga, mengadakan
revisi dan konsolidasi. Dari langkal
pengujian diperoleh beberapa data, data tersebut digunakan untuk mengadakan
perbaikan dan penyempurnaan. Selain perbaikan dan penyempurnaan
diadakan juga kegiatan konsolidasi, yaitu
penarikan kesimpulan tentang
hal-hal yang lebih bersifat umum yang berlaku dalam lingkungan yang lebih
luas. Hal itu dilakukan,
sebab meskipun suatu unit eksperimen telah cukup valid dan
praktis pada sesuatu sekolah belum tentu
demikian juga pada sekolah yang lainnya. Untuk menguji keberlakuannya pada
daerah yang lebih luas perlu adanya kegiatan konsolidasi.
Langkah keempat, pengembangan keseluruhan kerangka
kurikulum. Apabila
dalam kegiatan penyempurnaan dan konsolidasi telah diperoleh sifatnya yang
lebih menyeluruh atau berlaku lebih luas, hal itu masih harus dikaji oleh para
ahli kurikulum dan para profesional kurikulum lainnya. Kegiatan itu dilakukan
untuk megnetahui apakah konsep-konsep dasar atau landasan-landasan teori yang
dipakai sudah masuk dan sesuai.
Langkah kelima, implementasi dan diseminasi, yatiu menerapkan
kurikulum baru ini pada daerah atau sekolah-sekolah yang lebih luas. Di dalam
langkah ini masalah dan kesulitan-kesulitan pelaksanaan tetapi dihadapi, baik
berkenaan dengan kesiapan guru-guru, fasilitas, alat dan bahan juga biaya.
Meskipun Rogers
bukan seorang ahli pendidikan (ia ahli psikologi atau psikoterapi) tetapi
konsep-konsepnya tentang psikoterapi khususnya bagaimana membimbing individu
juga dapat diterapkan dalam bidang pendidikan dan pengembangan kuriulum. Memang
ia banyak mengemu- kakan konsepnya tentang perkembangan dan perubahan individu.
Menurut When Crosby (1970: 388) perubahan kurikulum adalah perubahan individu.
Menurut Rogers
manusia berada dalam proses perubahan (becoming, developing, changing),
sesungguhnya ia mempunyai kekuatan dan potensi untuk berkembang sendiri, tetapi
karena ada hambatan-hambatan tertentu i<t membutuhkan orang lain untuk
membantu memperlancar atau mempercepat perubahan tersebut. Pendidikan juga
tidak lain merupakan upaya untuk membantu memperlancar dan
mempercepat perubahan tersebut. Guru serta pendidik lainnya bukan pemberi
informasi apalagi penentu perkembangan anak, mereka hanyalah pendorong dan
pemelancar Perkembangan anak.
Ada empat langkah pengembangan
kurikulum model Rogers. Pertama, peniilihan
target dari sistem pendidikan. Di dalam
penentuan target ini satu- satunya kriteria yang menjadi pegangan adalah adanya
kesediaan dari Pejabat pendidikan
untuk turut serta dalam kegiatan kelompok yang intensif.
Selama satu minggu para pejabat pendidikan/administrator
melakukan kegiatan kelompok dalam suasana yang relaks, tidak formal. Melalui
kegiatan kelompok ini mereka akan mengalami perubahan- perubahan sebagai
berikut.
1.
He is less protective of his own beliefs and
can listen more accurately
2.
He finds it easier and less threatening to
accept innovative ideas.
3.
He has less need to protect bureaucratic
rules.
4.
He communicates more clearly and realistically
to superiors, peers, and sub-ordinates because he is more open and less
self-protective.
5.
He is more person oriented and democratic.
6.
He openly confronts personal emotional
frictions between him self and colleagues.
7.
He is more able to accept both positive and
negative feeback and use it constructively (Rogers, 1967:722).
Langkah kedua dalam pengembangan
kurikulum model Rogers adalah partisipasi
guru dalam pengalaman kelompok yang intensif Sama seperti yang
dilakukan para pejabat pendidikan, guru juga turut serta dalam kegiatan
kelompok. Keikutsertaan guru dalam kelompok tersebut sebaiknya bersifat suka
rela, lama kegiatan kalau bisa satu minggu lebih baik, tetapi dapat juga kurang
dari satu minggu. Efek yang akan diterima guru-guru sejalan dengan para
administrator, dengan beberapa tambahan.
1 He
is more able to listen to students,
2.
He accepts
innovative, torublesome ideas from students, rather than insisting on
conformity,
3.
He pays as much
attention to his relationships with student as he does to course content,
4.
He works out problems with students rather than
responding in a disciplinary and punitive manner,
5.
He develops an equalitarian and democratic classroom
climate (Rogers, 1967:724).
Langkah ketiga, pengembangan pengalaman kelompok yang intensif untuk satu kelas atau unit pelajaran.
Selama lima hari penuh siswa ikut serta dalam kegiatan kelompok, dengan
fasilitator para guru atau administrator atau fasilitator dari luar. Dari
kegiatan ini para siswa akan mendapatkan:
1. He
feels freer to
express both positive and negative feelings in class.
2. He works through these feelings toward a realistic solutin.
3.
He has
more energy for learning because he has less fear of constant evaluation and punishment.
4. He discovers that he is responsible for his own
learning
5.
He awe and fear of authority
diminish as he finds
teachers and administrators to be fallible human beings.
6.
He finds that
the learning process enables him to deal with his life (Rogers, 1967:725).
Langkah keempat, partisipasi orang tua dalam
kegiatan kelompok. Kegiatan HU dapat dikoordirtasi oleh BP3
masing-masing sekolah. Lama kegiatan kelompok dapat tiga jam tiap sore han
selama seminggu atau 24 jam secara tents
menerus. Kegiatan ini bertujuan memperkaya orang-orang dalam
hubungannya dengan sesama orang tua, dengan anak, dan dengan guru. Rogers juga
menyarankan, kalau mungkin ada pengalaman kegiatan kelompok yang bersifat
campuran. Kegiatan merupakan kulminasi dari iemua kegiatan kelompok di atas.
Model pengembangan kurikulum dari
Rogers ini berbeda dengan model-model lainnya. Sepertinya tidak ada suatu
perencanaan kurikulum tertulis, yang ada hanyalah rangkaian kegiatan kelompok.
Itulah ciri khas Carl Rogers sebagai seorang Eksistensialis Hu man is, ta tidak
mementing- kan forma litas, rancangan tertulis, data, dan sebagainya Bagi
Rogers yang pen ting adalah aktivitas dan interaksi. Berkat berbagai bentuk
aktivitas dalam interaksi ini individu akan berubah. Metode pendidikan yang
diutamakan Rogers adalah sensitivity
training, encounter group dan Training Group (T Croup).
Model kurikulum
ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan kurikulum merupakan perubahan
sosial. Hal itu mencakup suatu proses yang melibatkan kepribadian orang tua,
siswa guru, struktur sistem sekolah, pola hubungan pribadi dan kelompok dari
sekolah dan masyarakat. Sesuai dengan asumsi tersebut model ini menekankan pada
bga ha! itu: hubungan insani, sekolah dan organisasi masyarakat, serta wibawa
dari pengetahuan profesional.
Kurikulum
dikembangkan dalam konteks harapan warga masyarakat, para orang tua, tokoh masyarakat,
pengusaha, siswa, guru, dan lain-lain, mempunyai pandangan ten tang bagaimana
pendidikan, bagaimana anak belajar, dan bagaimana peranan kurikulum dalam
pendidikan dan ptngajaran. Penyusunan kurikulum hams memasukkan pandangan dan
harapan-harapan masyarakat, dan salah satu cara untuk mencapai hal itu adalah
dengan prosedur action research.
Langkah pertama,
mengadakan kajian secara saksama tentang roasalah-masalah kurikulum, berupa
pengumpulan data yang bersifat Mtnyeluruh, dan mengidentifikasi faktor-faktor,
kekuatan dan kondisi yang mempengaruhi
masalah tersebut. Dari hasil kajian tersebut dapat disusun rencana yang
menyeluruh tentang cara-cara mengatasi masalah knrtut, serta tindakan pertama
yang harus diambil.
Kedua, implementasi dari keputusan yang
diambil dalam tindakai pertama. TLndakan ini segera diikuti oleh kegiatan
pengumpulan data dai fakta-fakta. Kegiatan pengumpulan data ini mempunyai
beberapa fungsj (1) menyiapkan data bagi evaluasi tindakan, (2) sebagai bahan
pemahamaj tentang masalah yang dihadapi, (3) sebagai bahan untuk menilai kemba!
dan mengadakan modifikasi, (4) sebagai bahan untuk menentuka tindakan lebih
lanjut.
Perkembangan
bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serta nilai-nii efisiensi efektivitas
dalam bisnis, juga mempengaruhi perkembanga model-model kurikulum. Tumbuh
kecenderungan-kecenderungan bai yang didasarkan atas hal itu, di antaranya: (1)
The Behavioral Analysis Mod (2)
The system analysis model,
(3) The computer based model.
The Behavioral
Analysis Model,
menekankan penguasaan perilaku at< kemampuan. Suatu perilaku/kemampuan yang
kompleks diuraik; menjadi perilaku-perilaku yang sederhana yang tersusun secara
hierark Siswa mempelajari perilaku-perilaku tersebut secara berangsur-angs
mulai dari yang sederhana menuju yang lebih kompleks.
The
System Analysis Model berasal dari gerakan efisiensi bisnis. Langk pertama
dari model ini adalah menentukan spesifikasi perangkat ha belajar yang hams
dikuasai siswa. Langkah kedua adalah menyusi instrumen untuk menilai
ketercapaian hasil-hasil belajar tersebut. Langk ketiga, mengidentifikasi
tahap-tahap ketercapaian hasil serta perkira biaya yang diperlukan. Langkah keempat,
membandingkan biaya dan keuntungan dari beberapa program pendidikan.
The Computer-Based
Model,
suatu model pengembangan kurikuh dengan memanfaatkan komputer. Pengembangannya
dimulai deng mengidentifikasi seluruh unit-unit kurikulum, tiap unit kurikulum
tel memiliki rumusan tentang hasil-hasil yang diharapkan. Kepada para sis dan
guru-guru diminta untuk melengkapi pertanyaan tentang unit-u kurikulum
tersebut. Setelah diadakan pengolahan disesuaikan deng kemampuan dan
hasil-hasil belajar yang dicapai siswa disimpan dal komputer.
Hoover,
Kenneth H. (1982). The
Professional Teacher's Handbook. Bosi Allyn and Bacon, Inc.
Tulisan ini menvajikan
suatu kerangka kerja dasar yang bersifat konseptual
tentang penggunaan metode mengajar yang didasarkan atas pendekatan
inkuiri. Kerangka kerja ini dapat digunakan oleh para instruktur, guru dan
calon guru untuk memahami, menganalisis dan mengaplikasikannya
dalam berbagai proses pengajaran. Ada lima langkah cara mengajar inkuiri yang
didasarkan atas konsep ini: 1) Pengembangan konsep
dasar yang merupakan landasan bagi pengajaran, 2) Menyatakan konsep dalam bentuk
pertanyaan yang bersifat terbuka untuk memancing sejumlah kemungkinan
pemecahan, 3) Pengembangan dan evaluasi hipotesis atau pemecahan yang mungkin,
4) Generalisasi yang didasarkan atas kemungkinan pemecahan. Kelima langkah
tersebut dapat digunakan dalam berbagai situasi:
individual atau kelompok kecil, kelompok besai (seminar, diskusi, debat,
ceramah), metode yang bersifat afektif (role playing, sosiometri, sosiodrama,
simulasi, permainan, metode kasus).
Hass,
Glen. (1980). Curriculum
Planning, A New Approach. Boston: Allyn and
Bacon, Inc.
Buku ini merupakan
kumpulan tulisan dari sekitar 50 orang ahl kurikulum. Meskipun demikian
pokok-pokok yang dibahas telah tersusur secara sistematis-logis sehingga
membentuk satu kesatuan karya yang utuh. Karena ditulis oleh begitu banyak
orang, buku ini boleh dikatakar kootprehensif, walaupun di sana sini ada saja
tumpang tindih, sehinggc membentuk satu handbook
yang lengkap. Buku ini dapat menjadi pegangar bagi para pengajar, perencana dan
pengembang kurikulum, maupun pan mahasiswa yang sedang mendalami kurikulum.
Keseluruhan isi buku ini tersusun secara
sistematis, dimulai dengan dasar-dasar dan kriteria kurikulum
yang menyangkut konsep, faktor-faktor sosial, perkembangai individu, pengetahuan, belajar,
dan kriteria kurikulum. Selanjutnya juga diuraikan
kurikulum pada berbagai jenjang dan jenis pendidikan, sekolal
dasar, sekolah
menengah, pendidikan tinggi dan orang dewasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar